SOEKARNOISME DI MATA LENINIS

OLEH : MUNAWAR SETIADI

Tentu tidak bisa disangkal lagi, ketika Soekarno telah digulingkan oleh Soeharto beserta dukungan Amerika di belakangnya ada usaha usaha tersembunyi dari mereka untuk mendistrosi Soekarno menjadi sekedar tokoh sovinis yang ingin memerdekakan bangsa,berdikari dll bahkan anti komunis. Bagi mereka yang sudah memperlajari Soekarno, kita akan mengetahui bahwa dia telah dalam beberapa tulisannya mengaku dirinya “Sosialis” dan “Marxis”. Ini tentunya menarik perhatian para reformis kita, baik PRD atau mereka yang mengidamkan “Sosialisme ala Indonesia” atau kembalinya PDIP pada jalan Soekarnois yang benar. 

Untuk menggambarkan Soekarno hanya pada esensi progresifnya adalah sebuah cara pandang  sebelah mata yang sangat berbahaya dan menipu. Karena ini mengabaikan analisa kelasnya bahwa Soekarno secara keseluruhan memiliki watak mental borjuis kecil yang inheren. Ini nampak tidak hanya dalam teorinya namun juga dalam sejarah riwayat perjuangannya. Karena sekedar deklarasi formal bahwa dia seorang Marxis, sosialis dll tidaklah cukup namun kita perlu melihat riwayat teoritis secara utuh dan praktek perjuangan nyatanya yang kemudian bisa memberi klarifikasi ideologis yang sesungguhnya. Dan sejauh kita analisis, Soekarno bukan salah seorang Marxis maupun Sosialis.


Awal mulanya adalah pemberontakan PKI

Soekarno memulai tertarik dengan perjuangan politik sekitar 1920an, pada waktu itu Indonesia sedang memasuki gejolak perlawanan politik yang besar. Berdirinya PKI dan serikat buruh yang mulai dewasa menjadikan jelas bahwa kekuasaan kolonial belanda sudah tidak lagi akan bertahan lama. Bahwa ini akan mensinyalisir insureksi dan perlawanan dimana mana dan dalam waktu yang frekuen. Salah satunya yang terbesar pemberontakan tahun 1926. Soekarno terpukau dengan perlawanan ini. Dia mengakuinya pada pidato di tahun 65nya namun dia tidak bergabung dengannya. Dia justru sedang bergumam dengan petani miskin bernama Mang Aeng. Pertemuan inilah yang menghasilkan bibit awal “Sosialisme ala Indonesia” alias disesuaikan dengan watak Indonesia dan Marhaenisme, Marxisme ala Indonesia. Kegagalan pemberontakan PKI dan kehancurannya melalui represi habis-habisan oleh aparat Belanda, mengartikan kekosongan kepeloporan revolusioner di Indonesia untuk mencapai pembebasan nasional dan ekonomi. Kepeloporan ini jatuh pada elemen borjuis kecil seperti PNI dll dengan Soekarno di pucuknya. Konsekuensi ini tentunya membuat kelas borjuis kecil memiliki posisi kepemimpinan dominan dalam perjuangan kemerdekaan. Kemudian perang dunia kedua datang. 

Pada waktu ini muncul dua tendensi, yaitu tendensi mengekor dengan Jepang atau tetap melawan Jepang. Sementara kebanyakan Komunis seperti Umi Sarjono, Wikana dll mengambil pilihan kedua dengan bergerilya dan mendirikan pos perlawanan dimana mana untuk menghentikan romusha dll, Soekarno secara mengejutkan mengambil pilihan pertama. Dia menjadi pemimpin boneka yang berguna untuk memuja kaisar Jepang sebagai Dewa Asia Raya yang mulia. Namun sejatinya dia tidak memiliki posisi yang besar dan berarti untuk menghentikan kekejaman Jepang yang terus berlangsung. Dia menikmati segala hak istimewa yang diberikannya oleh Jepang. Ini adalah aib sejarah yang disembunyi sembunyikan oleh para Soekarnois. Yang dilupakan bahkan “dimaafkan” karena masa lalu. Lalu pada 1945 dia lalu dipanggil oleh tuannya ke Vietnam, para penguasa Jepang memutuskan memberikan “kemerdekaan” pada Soekarno. Dia kembali pulang ke Indonesia dan menunggu datangnya tanggal 22 dimana dia akan membacakan kemerdekaan Indonesia. Namun tentunya para pemuda menolak ini. Melihat potensi kekuatan rakyat dan bahwa Jepang telah menyerah, mereka menganggap bahwa kemerdekaan harus segera diproklamasikan. Soekarno tentunya menolak, pertimbangan yang selalu dia khawatirkan adalah reaksi kekuatan jepang untuk menggagalkan usaha ini. Dia berarti tidak percaya pada kekuatan akan massa rakyat bahkan dirinya sendiri. Namun tekanan para pemuda (kebanyakan komunis) membuat Soekarno secara terpaksa membacakan naskah prolamasi tersebut. 

Sehingga di tahun 1945, lahirlah Republik Indonesia yang masih berdiri hingga kini. Namun hingga 1959 republik ini tidak stabil. Seperti Trotsky jelaskan, bahwa ketika sebuah republik borjuis demokratik didirikan maka dia dengan segera akan menunjukkan kebusukan dan kontradiksi internalnya.

Jangankan kita bicara tentang sisi Sosialis Soekarno, pemerintahan orde lama sama sekali tidak becus dalam melaksanakan tugas progresif utama yang diembannya seperti reforma agraria yang masif. Negara borjuis orde lama membutuhkan dukungan massa dari kelompok reaksioner NU yang mewakili pemilik tanah feodal. 

Seperti kerensky di tahun 1917, negara orde lama tidak mampu menyelenggarakan pemilu secara reguler, terorganisir dan efektif. Pemberontakan mulai rampan dimana-mana, bahkan ekonomi mulai berwajah liberal di periode 1950 hingga 59. Mulai banyak modal asing yang dikucurkan di Indonesia. Sehingga republik yang seharusnya “Sosialis ala Indonesia” mulai menampakkan bentuk nyatanya pada masyarakat. Ketidakstabilan ini mulai memuncak di tahun 1959.

1959

Repulik Borjuis yang muda ini tidak memakan lama untuk mulai mengeropos dengan banyak hantaman kontradiksi di dalamnya. Konsep Pancasila sebagai konsep kontrak sosial untuk menyatukan semua orang di dalam satu negara yang sekiranya bisa “damai dan tentram” tidak mampu menahan lagi perbedaan dan pertentangan yang semakin antagonistis. Namun dengan dukungan PKI, Soekarno pada akhirnya bisa mulai menghindari gejala-gejala keruntuhan republik ini seperti penumpasan DI TII atau PRRI dan mengalami kestabilan yang relatif sementara untuk dirinya sendiri. 
 
Periode 1959 adalah periode yang paling menarik dari periode periode sebelumnya. karena inilah masa dimana “sosialisme ala Indonesia” sedang diuji dalam lapangan nyata, yang walaupun tidak sama sekali Sosialis dalam makna Marxis. Rupanya “Sosialisme ala Indonesia” yang alih alih memberi kekuasaan penuh pada Kelas buruh dan tani dalam sebuah Soviet atau dalam kata lain memberi ruang untuk kediktatoran Proletar, rupanya malah menjadi ajang kesempatan bagi Soekarno untuk meningkatkan otoritasnya. Hari-hari ini kita mendengar banyak sekali dongeng mistis, mitos Soekarno yang mengagung agungkannya seperti istrinya nyi roro kidul, memiliki kekuatan gaib, dll. Ini semua bersumber pada era demokrasi terpimpinnya yang mengultuskan dirinya sebagai panglima Revolusi Indonesia. 
Konsep demokrasi terpimpinnya sangat janggal. Dia mengambilnya dari konsep dewan desa. Jadi ada dewan yang isinya perwakilan penduduk desa. Penduduk desa berdebat layaknya sistem demokrasi yang konsisten. Lalu terdapat sesepuh desa yang “memberi arahan atau menengarai perdebatan dengan tetuahnya”. Rupanya yang dia maksud sesepuh desa adalah Soekarno sendiri yang menengarasi segala proses demokrasi. inilah hasil buah dari “Sosialisme ala Indonesia”. Dari seseorang yang mulutnya sedang melawan ratu adil, Heru Tjokro, Feodalisme dan kapitalisme,  Ini adalah “Marxisme yang disesuaikan dengan alam Indonesia”

Terdapat pula program nasionalisasi industri swasta negara asing, yang walaupun ini langkah dan rencana yang baik namun diterapkan secara birokratis. Sekali lagi alih alih memberi kekuasaan penuh segala alat produksi kepada kelas buruh dan tani, si “Sosialis” Soekarno memberikannya malah kepada perwira militer dan pejabat negara yang korup. Sehingga negara “sosialis” Indonesia menjadi bangkrut di sekitar tahun 1960 an. Di tengah kebangkrutan ini, Soekarno sedang membangun monumen dan rumah rumah mewah untuk dirinya. Korupsi meraja lela di segala aspek. 
Rakyat semakin miskin dan mulai mendekati PKI, namun mereka langsung sadar bahwa bahkan PKI pun tidak bisa melakukan apapun untuk membawakan rakyat Indonesia menuju Sosialisme yang sejati. Ini tentunya juga dengan faktor dari luar, telah mendorong kontradiksi internal dari rezim Soekarno ke ambang batasnya. Kudeta tahun 1965 pun terjadi. Dalam seketika seluruh aparatus kekuasaannya ambruk dan mulai digerogoti oleh Soeharto. Pendukungnya mulai menjadi sasaran begitu anggota PKI hampir selesai dihabisi. Soeharto mulai membangun kekuasaannya dengan tulang belulang rakyat.

Namun ada hal menarik lain yang bisa kita lihat adalah di tahun 1966. Pada waktu itu degradasi dari PNI telah membelah partai menjadi dua. Di sisi lain adalah kelompok yang sudah rapuh dan renta, yang dikenal sebagai Soekarnois. Di lain sisi, adalah kelompok yang merupakan kelompok boneka yang didukung oleh Soeharto. Mereka adalah kelompok nasionalis yang sudah “melenceng” dari revolusi 45. Di saat ini adalah masa yang sebenarnya bisa menghentikan rongrongan dan penjagalan massal Soeharto, serta selamatnya Indonesia dari bahaya maut yang lebih besar. Pendukungnya  dengan ratusan jika tidak jutaan sudah siap untuk bertempur bersama Soekarno. Perimbangan kekuatan pada waktu itu berada di sisi Soekarno yang lebih mengungguli. Menurut Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri Soekarno mengatakan pada waktu bahkan beberapa panglima baik di AU, AD dan Al sudah siap. Ini semua tinggal menunggu perintah sang “pemimpin besar” Revolusi. Namun seperti di tahun 1945, Soekarno tidak percaya pada massa. Tidak satupun perintah dikeluarkan dari mulutnya. 

Ini adalah perilaku seorang pengecut. Kebusukan dari moral pasifis yang inheren dan bukti keputusasaan serta kelelahan sang proklamator untuk menyelamatkan rakyatnya. Demi “perdamaian dan persatuan” Bangsa dia membiarkan ratusan jika tidak jutaan rakyatnya dipenjara, dibunuh, disiksa dan diperkosa. Dia hanya bisa melihatnya dengan mata telanjang dan menyesalinya selama sisa hidupnya di rumah kurungannya.

Ketika dia mati tentunya Indonesia telah berubah selamanya. Fraksi PNI yang reaksioner telah mengambilalih PNI dan kemudian mengubah diri menjadi PDI hanya untuk mengiyakan Golkar dan kroni kapitalisnya. Seluruh aset negara mayoritas telah diprivatisasi diberi ke pengusaha yang bertahun tahun memendam kekayaan dari keringat buruh yang ditindas. Namun justru yang mengherankan adalah di masa sekarang dimana kebusukan kapitalisme nasional dan internasional telah mencapai titik yang belum ada presedennya dalam sejarah, dimana solusi yang nyata adalah solusi revolusioner kita masih mendapati ilusi “sosialisme ala Indonesia” dari para reformis. Untuk kembali pada “masa masa yang lama” ala Soekarnoisme.

Reformasi atau Revolusi?

Marxisme telah mengajarkan bahwa materi atau fenomena nyata di dalam masyarakat adalah sesuatu yang primer dan dicerminkan oleh ide. Dalam perkara ini, apabila revolusi 1945 adalah materinya maka Marhaenisme adalah idenya. Namun sebaiknya kita hingga detik ini bisa mencapai kesepatakan kolektif bahwa revolusi di tahun 1945 bukanlah revolusi sosialis melainkan sebuah revolusi demokratik borjuis. Sehingga orientasi utama dari revolusi 1945 ialah merebut kekuasaan kapitalis belanda ke tangan para borjuis nasional Indonesia dan pembentukan bangsa yang mandiri. 
Tidak dapat dipertentangkan lagi bahwa Soekarno adalah pelopor atau pemimpin depan revolusi ini. dan sungguh jelas sekali bahwa Soekarno adalah perwakilan dari golongan borjuis nasional kecil baik dari PNI maupun golongan tua. Karakter borjuis ini tidak bisa dilampaui sekeras apapun. kelas borjuasi tidak akan sama sekali berkepentingan untuk melampaui batas republik demokratis borjuis langsung menuju karakter transisional yang sosialis. Inilah salah satu penggambaran keterbatasan Marhaenisme.  

Sehingga logika yang marhaenis sudah tidak lagi berlaku untuk sebuah program revolusi sosialis. Perjuangan yang sekarang justru sedang dikobarkan oleh para Marhaenis adalah perjuangan untuk dapat kursi di parlemen. logika dari para Marhaenis terlepas dari partai manapun baik yang mengaku dirinya kiri atau kanan adalah selalu bahwa Indonesia sedang krisis. Krisis politik dan ekonomi yang menyerang si miskin. Walaupun yang kanan akan bilang solusinya wirausaha sedangkan yang kiri akan bilang subsidi yang makin banyak, mereka seiya sekata bahwa program mereka akan terealisasikan melalui pemilu. Mereka tentunya berusaha untuk mencegah skenario yang radikal karena mereka telah berkembang menjadi bagian dari kapitalisme Indonesia.

Para penggemar Sosialisme ala Indonesia adalah mereka yang berjuang secara setengah hati dan dalam lubuk hatinya tersimpan keambiguan dan ketidakpercayaan akan sosialisme secara seutuhnya. Mereka tidak berani untuk mengkonsentrasi segala kekuatan politik dan ekonomi ke tangan kelas buruh. Mereka hanya ingin “Demokrasi” ala parlemen dan kemenangan pemimpin “progresif” yang berarti menolak kediktatoran Proletariat.

Kesimpulan

Trotsky pernah mengatakan bahwa krisis dari sistem kapitalisme bisa direduksi sebagai krisis kepeloporan yang revolusioner. Ini sangat benar sekali bagi negara negara dunia ketiga. Kala itu gerakan Stalinis sudah kehilangan akar revolusionernya. Mereka meminimkan peran mereka sebagai pemimpin untuk memberi jalan bagi kelompok nasionalis borjuis kecil untuk mengambil panggung utama kepemimpinannya. Sehingga sekitar atau pasca tahun 45, “pembebasan” rakyat dunia ketiga tidak lain hanyalah penggantian kapitalisme barat dengan kapitalisme ala baru atau sosialisme yang tipu-tipuan. Para pemimpin borjuis nasional ini hanya menggunakan slogan Sosialisme untuk menarik minat massa yang lebih banyak sementara di belakangnya mengkhianatinya.

Ideologi reformisme atau Sosialisme borjuis kecil ala Soekarno ini, ketika dia dirancang memang sudah ditakdirkan untuk gagal. Untuk sebuah program untuk revolusi demokratik, ideologi ini masih menyimpan sedikit relevansi untuk kita bisa tolerir namun dia menjadi tidak berguna bahkan menghalangi prospek revolusioner yang nyata setelahnya. Degradasi pembusukan partai Marhaen tahun 1966 adalah pukulan terakhir dan titik paling membusuknya dari marhaenisme. Ini sama sekali tidak bisa direvisi atau dipertentangkan dengan argumen bahwa itu bukan Marhaen sejati atau bahkan menganggapnya Marhaen Borjuis. 

Supaya kaum melarat, kelas buruh, petani, pelajar dan rakyat tertindas bisa mencapai kekuatan absolut atas diri mereka dan masa depan anak cucunya mereka harus mencari alternatif yang lain. Reformisme adalah kebangkrutan dan penipuan massal terhadap kelas buruh akan janji kemakmuran. Politik Borjuis tidak akan lagi menjadi penyelamat kelas buruh. Karena mereka tidak memiliki sama sekali otoritas yang mewakilinya. Ini kita kutip dari Marx:

“Kaum buruh tidak mempunyai tanah air (negara). Kita tidak dapat mengambil dari mereka apa yang tidak ada pada mereka. Karena proletariat pertama sekali harus merebut kekuasaan politik, harus mengangkat dirinya menjadi kelas yang memimpin dari nasion, harus mewujudkan dirinya sebagai nasion, maka sejauh itu ia bersifat nasional, biarpun tidak dalam arti kata menurut borjuasi.”

Tindakan “merebut kekuasaan politik” ini tidak akan ada dalam Marhaenisme yang mana sisi progresifnya telah lepus, melainkan dari program ideologi revolusioner yang serius dari Marx, Engels, Lenin dan Trotsky.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kronologi Kasus Kekerasan Akademik UNAS

Kebangkitan Asia (1913)