PARODI KEPEMIMPINAN : Bagaimana Demokrasi Tanpa Ilmu Pengetahuan?

PARODI KEPEMIMPINAN: Bagaimana Demokrasi Tanpa Ilmu Pengetahuan? 

Oleh : 
Ahmad Zafran
Gil Ang Monoarfa

Demokrasi atau kerakyatan adalah bentuk pemerintahan, yang di didasarkan pada keputusan penting melalui kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat. Demokrasi atau kerakyatan adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan dengan harapan dapat mengubah hidup mereka.

Demokrasi mengizinkan warga negara ikut serta—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, adat dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya.

Kata ini berasal dari bahasa Yunani Kuno δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada Abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena Klasik; kata ini merupakan antonim dari wikt:ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan elit". Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi. Sistem politik Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak suara di mulai pada abad ke-19 hingga sekarang. Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak Abad ke-16 se-jaman dengan sultan banten Abdul Mahasin Muhammad Zainal Abidin, Democracy berasal dari bahasa Prancis Pertengahan dan bahasa Latin Pertengahan lama. Tahun Masehi di mulai dari 570 Masehi. Konsep demokrasi lahir dari Yunani kuno yang dipraktikkan dalam hidup bernegara antara Abad ke-4 Sebelum Masehi sampai dengan Abad ke-6 SM. Demokrasi yang dipraktikkan pada waktu itu adalah demokrasi langsung, artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh rakyat atau warga negara.


Dalam konteks negeri yang kita cintai ini, yakni Indonesia  yang sedang berlangsungnya suatu pesta demokrasi sebagai acara lima tahunan dalam mencari pemimpin yang akan mengurusi kepemerintahan. 

Terlihat betul antusiasme warga, apalagi acara dimaksud di sponsori oleh beberapa partai pendukung dan para tokoh panutan masyarakat.

Dampaknya terasa betul, salahsatunya ialah terbentuknya perkumpulan-perkumpulan rakyat di sana sini baik dari tingkat lokal maupun skala nasional guna memenangkan pasangan calon masing-masing. 

Media massa mulai menghegemoni para pemilih dengan berupaya menggiring opini dalam mendulang suara bagi para pasangan calon yang telah membangun relasi bisnis bersama. Lembaga-lembaga survey yang katanya independen mulai mengolah data dalam memantapkan elektabilitas para paslon tertentu. Kemenangan tinggal selangkah lagi, blusukan dan segala tindakan populis di lakukan demi mendulang suara terbanyak. 

Melalui momentum lima tahunan ini, sekalipun legitimasi rakyat tampak besar dan nyata namun sejatinya mereka rakyat tak memiliki kuasa dalam memilih. Sebab, kuasa memilih telah bertransformasi semacam pesanan suara yang di landasi transaksi meskipun di pandang tak begitu etis. Benar saja bahwa pesta demokrasi sedang berlangsung, namun disisi lain parodi kepemimpinan sedang di tampakkan di hadapan rakyat. Jelas sekali politisi lah yang berpesta, rakyat hanya mendapatkan sampah. 

Lihat saja fenomena di bawah ini, inilah contoh nyata yang terjadi pada negeri ini. Yang katanya negara ini ialah negara demokrasi, demokrasi tanpa ilmu pengetahuan. 

Dalam suatu pesta demokrasi, ada beberapa orang duduk di depan berhadapan langsung dengan warga, setelah di persilahkan berbicara di hadapan khalayak ramai, ia si politikus pun berdiri dan berucap sepatah dua kata bermaksud memberikan salam jitu dan dengan pidato nya yang cukup mengharukan dengan penuh semangat berapi-api, menurut sebagian penonton saat itu. 

Tak ayal lagi, sebagian penonton terbius dengan kata manisnya dan tak jarang di antara para penonton memberikan apresiasi berupa tepuk tangan beramai-ramai. Entahlah, apakah apresiasi tersebut merupakan tindakan pujian dari penonton atau sekedar memberikan supporting penghargaan semata. 

Bagi seseorang cendekia, saat fenomena ini terjadi di hadapannya pastilah ia mengerti dan merasa seperti sedang melihat seorang salesman yang sementara menjual jasa daripada seorang politisi. Kata katanya begitu manis, yang syarat akan gula di mulutnya. Ya, sedikit lagi para sekawanan semut akan menggerogoti mulut para politisi tersebut. 

Seorang bijak pernah berkata "Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya". Charles De Gaulle. 

Begitulah yang terjadi, tentu rakyat yang tak begitu paham dengan politik, akhirnya akan terbius oleh janji-janji para sales. Eh maaf salah ketik, maksudnya ialah janji-janji para politisi.

Rakyat banyak terutama mereka yang tergolong menengah ke bawah, mana paham atas ucapan politisi yang ada, akhirnya mereka hanya tunduk tunduk, geleng gelang hingga pada puncaknya ialah memberikan tepukan tangan. Inilah dialektika yang mengarah pada kemunduran yakni demokrasi tanpa ilmu pengetahuan. 

Setelah kegiatan selesai, akan ada tim dari politisi tersebut yang akan membagikan amplop yang berisikan sejumlah nominal, atau setidaknya kertas bergambar para juru selamat. Teringat sebuah istilah "tidak ada makan siang gratis". Berarti acara tersebut tentu ada harapan besar bagi politikus tersebut bahwa dalam pesta demokrasi tentu gambar dirinya bisa di coblos dalam bilik suara dan meraih suara paling banyak.

Yang sangat di herankan dalam konteks demokrasi tanpa ilmu pengetahuan ialah suara mayoritas merupakan sebuah legitimasi kekuasaan. Padahal secara kualitas matematis, alasan para cendekia memilih tidak dapat di persamakan dengan alasan orang awam dalam memilih. 


Akhirnya, demokrasi tanpa ilmu pengetahuan ialah demokrasi yang telah mati. Bagaimana tidak, jika suara untuk kemenangan pasangan calon hanya akan ada atas dasar legitimasi modal, dan hubungan feodalistik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kronologi Kasus Kekerasan Akademik UNAS

SOEKARNOISME DI MATA LENINIS

Kebangkitan Asia (1913)